Sudah satu bulan lebih saya tidak menulis di blog. Pasalnya, saya sedang sibuk mempersiapkan sebuah event besar yang akan diselenggarakan organisasi saya pertengahan bulan Februari ini. Saya tergabung dalam sebuah organisasi jurnalistik sekolah yang setiap tahunnya meneyelenggarakan lomba ke-jurnalistik-an untuk anak-anak SMP di wilayah Ekskaresidenan Kedu. Sebagai "trisula" dari organisasi tersebut, kegiatan itu tentu menyita perhatian saya.
Baru sekarang, setelah persiapan mendekati 60%, saya bisa punya waktu luang dan benar-benar memanfaatkan liburan. Di sini saya akan bercerita pendakian. Ya, pendakian.
Sekolah saya memiliiki banyak suborganisasi di bawah OSIS. Selain suborganisasi kejurnalistikkan yang saya sebut tadi, terdapat pula suborganisasi pecinta alam. Sabtu, 29 Januari 2011 lalu, anak-anak pecinta alam mengadakan pendakian awal tahun ke Gunung Merbabu. Sudah lama saya ingin mengikuti kegiatan ini. Saya juga sempat diajak oleh salah seorang teman. Namun, apa daya saat itu fisik saya sedang tidak memungkinkan. Saya tengah kelelahan dengan banyaknya kegiatan. Jadi, dengan berat hati saya mengurungkan niat saya untuk join.
Hal itu mengingatkan saya pada kejadian beberapa tahun silam. Tepatnya Januari 2007. Saat itu saya masih SMP, Gugus Depan tempat saya bernaung memiliki kegiatan tahunan yang serupa dengan apa yang dilakukan teman-teman pecinta alam; Mendaki Gunung. Tentu saja hal itu merupakan suatu hal baru bagi saya. Apalagi yang akan kami tempuh adalah Gunung Merapi, yang tentu masih hangat di telinga masyarakat bahwa gunung itu baru saja menunjukkan kekuatannya di tahun 2006.
Demikianlah kisah pendakian perdana saya,
Minggu pagi, penghujung Januari 2007. Kami, murid-murid tahun pertama SMP N 1 Kota Mungkid berkumpul di lapangan upacara sekolah untuk mendengarkan pengarahan dari Pembina Pramuka. Di pinggir jalan sana, empat truk telah siap membawa kami ke jalur start pendakian. Setelah menyimak pengarahan dari Pak Joko, Sang Pembina kami naik ke truk. Menyusuri jalan sambil bercanda. Itulah kali pertamanya saya naik truk, dan saya pikir saya menyukainya.
Begitu sampai di sebuah tempat dimana pendakian kami akan dimulai. Hawa dingin gunung mulai terasa. Saya turun dari truk dengan masih mengenakan jaket. Sekali lagi Pak Joko mengingatkan, bahwa pendakian yang akan kami jalani adalah pendakian yang santai dan kami diharuskan bersikap ramah pada setiap warga yang kami temui.
Saya berjalan bersama kawan seregu saya. Masih pagi, kami masih semangat. Medan yang kami lalui bukanlah hutan, melainkan pemukiman dan areal perkebunan penduduk. Iseng-iseng kami menghitung jumlah masjid yang kami lalui. Ada dua belas masjid. Jika setiap kampung memiliki satu masjid maka setidaknya kami telah melalui dua belas kampung. Sampai saat ini saya masih ingat jalan-jalannya, meskipun saya lupa nama lokasinya. Rumah penduduk di sana sederhana, kebanyakan terbuat dari bambu dengan pintu-pintu kayu. Jalannya sudah enak untuk dilewati, terdapat selokan di kanan kirinya.
Semakin siang, semakin panas, kabut mulai hilang dan kami bisa menyaksikan pemandangan indah. Kami semakin dekat ke tujuan, pemukiman semakin jarang digantikan oleh perkebunan sayur, dan kami semakin lelah.
Teman-teman saya ada yang sudah KO, tidak kuat meneruskan perjalanan. Sehingga, Pak Joko membonceng mereka denagn motor. Karena saya enjoy dan bahagia dengan moment ini, alhamdulillah fisik saya mau diajak kerja sama. Hampir semua anak mengatakan ini pendakian perdana selama tiga belas tahun hidup. Saya merasa bahwa tas punggung yang saya bawa ini sangatlah berat. Saya membawa semua yang diinstruksikan pembina; jas hujan, mukena, makanan, air mineral botol besar, jaket, sandal, dan obat-obatan. Sejujurnya tas ini malah memberatkan saya, maklumlah pendakian perdana. Sementara kakak-kakak Dewan Penggalang lebih simple, mereka hanya membawa jas hujan, minum dan sedikit makanan. Tas di punggung tampak tidak mengganggu mereka.
Selama di jalan, kami berbagi makanan dan minuman. Meski begitu, tetap saja stok makanan kami habis sebelum finish. Saat itu kebetulan tengah musim panen. Sampai di kebun tomat, seperti sebelumnya kami menyapa penduduk. Si Bapak yang tengah memanen tomat itu tersenyum, beliau menawrakan tomatnya pada kami. Kami malu-malu dan hanya mengucapkan, "Nggih, maturnuwun." Tapi Bapak Tua itu ternyata serius. Beliau mendekati kami dan memberi beberapa buah tomat. Belum masak benar, tapi tak apalah daripada dehidrasi. Kami mengucapkan terima kasih. Lalu menikmatinya tanpa di cuci. Dalam kedaan normal, tomat seperti itu pasti kecut alias masam. Tapi ini lain kawan, dalam keadaan kepepet tomat itu bukan main enaknya. Saya sendiri sangat terkesan dengan kejadian 'tomat' ini. Semoga Tuhan membalas kebaikan Bapak itu.
KIra-kira sudah 4 jam kami berjalan dan tak kunjung menemukan tujuan kami, Pos Pengamatan Babadan. Kami lelah sekali, saking lelahnya kami memutuskan untuk duduk di tengah jalan tanah yang tidak rata. Kami istirahat sejenak di situ. Rasanya kami adalah orang terakhir, padahal masih banyak anak lain di belakang. Tiba-tiba ada seorang berteriak, "Ayo semangat, udah dekat lho! Belok dikit sampai. Ayo semangat!" itu suara Galuh, dia menyemangati kami dengan entengnya. Pasalnya, tadi Galuh sudah dibonceng Pak Joko. Tak heran temanku yang bersuara indah itu begitu sumringah.
Kami berdiri, melanjutkan perjalanan. Ternyata benar, beberapa puluh meter dari tempat kami berhenti Pos Pengamatan sudah tampak. Kebanyakan teman cowok sudah makan-makan di sana. Empat truk yang tadi mengangkut kami juga sudah menunggu. Bahagia sekali rasanya. Kami diajak masuk ke dalam pos oleh petugas, melihat foto-foto Gunung Merapi dari tahun ke tahun. Juga melihat seismograf dari jarak dekat untuk pertama kalinya.
Pos Babadan berada 4 km sebelum puncak Merapi. dari pos ini kami seharusnya bisa melihat pemandangan puncak, tapi cuaca di puncak sedang berkabut, tak apalah. Pemandangan gunung di sekililingnya tak kalah memukau. Ada area luas bersemen di samping pos, warung makan kecil, dan bunker. Saya sempat masuk bunker, juga untuk pertama kalinya. Pintunya tebal sekali dari besi. begitu masuk ada ruangan luas berisi tabung-tabung oksigen. lalu ada lorong gelap. Saya tidak masuk ke sana, saya takut. Ada beberapa teman cowok yang masuk ke lorong. Konon, lorong itu berujung di ruangan luas yang cukup terang. Di sinilah orang-orang berlindung dari terjangan wedhus gembel. Namun seperti kita tahu, ternyata bunker tidak efektif untuk menghidari awan panas bersuhu ratusan bahkan ribuan derajat. Masih ingat kan, dua relawan yang tewas terpanggang dalam bunker ketika awan panas menerjang?
Puas melihat-lihat dan berfoto, kami meninggalkan lokasi. Di truk kami bercerita tentang perjalanan masing-masing. Seru sekali. Saya rindu sekali mendaki gunung. Dulu saya pernah bergumam pada diri sendiri untuk datang ke Babadan lain kali. Empat tahun berlalu, saya belum sempat mengunjungi Babadan. Tapi menurut cerita teman saya, Pos Pengamatan itu sudah rusak diterjang awan panas dan terkubur abu merapi pada saat letusan tahun 2010 lalu. Saya tidak tahu bagaimana pastinya keadaan Babadan sekarang. Bagaimanapun juga, Pos Pengamatan Babadan tetap mendapat temoat di hati saya, punya kennagan istimewa bagi saya dan teman-teman satu angkatan saya di SMP. Teman-teman Spenakers tercinta.